Agency theory menyebutkan
bahwa sebagai agen dari pemegang saham, manager tidak
selalu bertindak demi kepentingan
pemegang saham. Untuk itu, diperlukan biaya
pengawasan yang dapat dilakukan
melalui cara-cara seperti pengikatan agen,
pemeriksaan laporan keuangan, dan
pembatasan terhadap pengambilan keputusan oleh
manajemen. Kegiatan pengawasan
yang dilakukan memerlukan biaya keagenan. Biaya
keagenan digunakan untuk
mengontrol semua aktivitas yang dilakukan manajer sehingga
manajer dapat bertindak konsisten
sesuai dengan perjanjian kontraktual antara kreditor
dan pemegang saham ( Jensen dan
Meckling, 1976 dalam Sofiana, 2009).
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori
agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of
contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent)
yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut.
Menurut Meisser, et al., (2006:7) hubungan keagenan ini mengakibatkan dua
permasalahan yaitu :
(a) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen
secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang
sebenarya dan posisi operasi entitas dari pemilik; dan
(b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan
tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan
pemilik.
Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini menimbulkan biaya
keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh principal maupun agent.
Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini menjadi monitoring cost,
bonding cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan
ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur,
mengamati, dan mengontrol perilaku agent. Bonding cost merupakan biaya yang
ditangung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin
bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya residual
loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal
sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.
Menurut Schoeck (2002: 81) penerapan manajemen risiko dapat menurunkan biaya
keagenan dan meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen risiko perusahaan juga
dapat dijadikan mekanisme pengawasan dalam menurunkan informasi asimetris dan
berkontribusi untuk menghindari perilaku oportunis dari manajer (Kajuter et
al., 2005).
Dalam kaitannya dengan masalah keagenan ini, positif accounting theory (Watts dan
Zimmerman, 1986) mengajukan tiga hipotesis, yaitu bonus plan, hypothesis,
debt/equity hypothesis, dan political cost hypothesis, yang secara implisit
mengakui tiga bentuk keagenan, yaitu antara pemilik dengan manajemen, antara
kreditor dengan manajemen, dan antara pemerintah dengan manajemen. Sehingga
secara luas, principal bukan hanya pemilik perusahaan, tetapi juga bisa berupa
pemegang saham, kreditur, maupun pemerintah.
Isu GCG diawali dengan munculnya pemisahan antara pemilik dan manajemen.
Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, sedangkan manajemen sebagai
agen. Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam
perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan
pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal,
sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk
menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang
telah diamanahkan oleh prinsipalkepadanya.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan
kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang
mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return
maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan
menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara
prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban
yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan
dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah
pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan
agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).
Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi
yaitu :
a. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas
(bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion)
b. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara
prinsipal dan agen.
c. Asumsi tentang informasi.
asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual belikan.